TULIS.. TULIS.. TULIS..
Kartini dikenang karena dia menulis..
Pramoedya dikenang karena dia menulis..
Soe Hok Gie dikenang karena dia menulis..
Jika kau tidak menulis,
Maka kau telah mati sebelum dilahirkan..

-Diekey Lalijiwo-

Senin, 05 Januari 2015

Dari Not Balok Menuju Cajon

Gegara Ulil mengerjakan skripsi bertemakan perkembangan musik, saya teman setengah perjuangannya ikut kecipratan. Akhir-akhir memang saya, Ulil, mas Bebeh dan beberapa teman lain lumayan intens berbincang tentang musik. Malam ini tanpa sengaja membahas buku pedoman sekolah dasar yang telah mengenalkan bahasa dan sastra, mas Bebeh lanjut mengatakan buku seni. Dia menjelaskan tentang not balok, ketukan yang mengatur ritme dan tempo lagu hingga tangga nada diatonis dan pentatonis kepada Ulil.

Sembari ikut menimpali apa yang dijelaskan mas Bebeh ingatan saya dibangunkan pada masa smp. Saat itu saya memang sangat tertarik dengan musik dan berharap bisa membaca not balok. Akhirnya saya pun sangat fasih membaca not angka daripada not balok, usaha saya saat itu gagal. Sederhana, sejak kecil oleh ibu saya diajarkan dan terbiasa dengan not angka tiap kali bermain alat musik keyboard. Yang saya tahu saat itu not balok merupakan standar internasional dalam penulisan tangga nada bukan not angka. Apabila ingin menekuni dunia musik, not balok harus dikuasai terlebih dahulu pikir saya. Selain itu saya juga sangat mengagumi penggalan kisah Eross gitaris Sheila on 7 yang sejak SD atau SMP (saya lupa :P) sudah melahap habis not balok dan sempat mencengangkan guru musik di sekolahnya.

Mata pelajaran seni terutama musik adalah favorit saya. Sampai-sampai hampir tiap hari saya meluangkan waktu untuk mempelajari teori dari buku acuan yang digunakan. Tak jarang sembari mengulang, saya juga mempelajari materi yang belum diajarkan. Semangat saya begitu berapi-api saat itu. Namun tak lama, hanya di bangku SMP selama 3 tahun materi itu saya pelajari. Saat di SMA seni tetap jadi mata pelajaran favorit namun karena tidak ada seni musik maka banting stir ke rupa.

Not balok tidak berhasil saya tandaskan, namun di kelas dua sma saya kembali membuka teori musik untuk belajar bermain gitar. Sama seperti yang dijelaskan mas bebeh, not balok, ketukan dan diatonis menjadi acuan belajar gitar meskipun sedikit ada penyesuaian dalam not balok (tabulature / tab) gitar. Akhirnya saya bisa mempelajari gitar meskipun sangat tidak fasih. Lekat dalam ingatan untuk membeli sebuah gitar saya rela tidak mengikuti karyawisata ke Bali dan berdiam diri selama tiga hari di kamar untuk membiasakan memegang dan menggenjreng gitar secara otodidak. Sialnya, saya menggunakan teori menggenjreng dari guru pengganti pelajaran musik saat kelas 3 SMP dan teman-teman menertawakan. Cara menggenjreng yang diajarkan ala spanyol dengan 5 jari bukan seperti yang biasa dilakukan teman-teman –menggunakan ibu jari dan telunjuk-. Setelah kembali berlatih lagu pertama yang berhasil saya selsaikan adalah Demi Waktu dari Ungu.

Tak hanya berhenti di gitar, sekitar setahun kemudian saya iseng membeli buku teori bermain bass. Saat itu saya merasa pemain bass itu keren, terinspirasi dari Reita the Gazette. Masih otodidak, saya menggunakan gitar sebagai media mempelajari bass. Saya gagal mempelajari chord bass namun berhasil membaca tab bass dan menyelesaikan bagian bass lagu Cassis the Gazette. Mencoba lebih intim dengan gitar ternyata gagal, saya tak pernah bisa lepas dari buku chord lagu. Menyadari pola belajar yang lambat keisengan saya kembali, saya membeli buku teori drum dan mencoba bermain drum imajiner. Hasilnya sungguh tidak baik, ibu selalu marah apabila tangan dan kaki saya bergerak -seperti memegang stik memukul hi hat, snare dan menginjak pedal bass drum- saat duduk dan mengeluarkan suara keteplekan, katanya.

Saya baru benar-benar memegang real drum saat di UKMK Dolanan. Hampir setiap malam saya selalu berharap ada latihan di studio, hanya untuk bisa bermain drum walau sebentar. Merasa agak bermasalah dengan koordinasi tangan dan kaki saya sedikit patah arang dengan drum meskipun pada akhirnya pernah mengiringi bermain drum saat yudisium. Saya beralih tertarik ke jimbe, alat musik yang identik dengan lagu aliran reagge. Semula saya berpikir suara yang dihasilkan akan mirip dengan snare dan bass drum, ternyata tidak. Memang di jimbe juga memiliki nada tersebut. Tidak puas dengan jimbe dan pernah di luar rencana bermain cajon saat menjadi pengiringi akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada cajon sebagai alat musik yang saya fokuskan. Agak bimbang juga sebenarnya menjatuhkan pilihan pada alat musik yang menjadi pusat tempo dari sebuah lagu.[]

ps : hah, dari not balok bisa melebar sejauh ini. Sialnya, ibu tak pernah mendukung saya belajar alat musik dari gitar sampai cajon. Padahal dari ibu juga akhirnya saya bisa sejauh ini. Sedihnya adalah gitar saksi perjalanan saya belajar gitar dan bass hilang setelah dipinjam teman.

0 komentar:

Posting Komentar