TULIS.. TULIS.. TULIS..
Kartini dikenang karena dia menulis..
Pramoedya dikenang karena dia menulis..
Soe Hok Gie dikenang karena dia menulis..
Jika kau tidak menulis,
Maka kau telah mati sebelum dilahirkan..

-Diekey Lalijiwo-

Sabtu, 01 Juni 2013

Tanpa Menulis, Keberadaanmu Tidak Bisa Dibuktikan

"Menulis itu lebih sulit daripada membaca, apalagi berbicara. Itu sudah saya buktikanberulangkali"
Dini hari tadi, saat kubuka akun facebook status ini terpampang di beranda. Masih berada sekitar lima teratas. Uliel Petrik yang menuliskan status itu di akunnya. Aku membuat tulisan ini dua jam setelah tulisan itu dibuat. Dan kuakui status yang dibuatnya ada benarnya setelah aku juga mengalaminya. Hal ini dibuktikan dari jumlah dan jarak posting-an yang ada di blog ini. Hanya sedikit tulisan yang aku buat, bahkan butuh waktu yang lumayan lama untuk membuat satu tulisan yang menurutku bagus. Di blog ini kuberi tanda “rangkaian kata membosankan”.

Dari status tadi aku penasaran dengan apa itu menulis. Meskipun hal itu mendasar dan biasa dilakukan di dunia jurnalistik serta menurutku sederhana. Setahuku menulis adalah pekerjaan/kegiatan membuat tulisan, dari kata dasar tulis dan mendapat awalan me- yang artinya melakukan pekerjaan. Pemikiranku tadi pun mungkin mirip dengan arti kedua dari menulis menurut KBBI,” melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan”.


Pengertian di atas membuatku lebih mengerti apa itu menulis. Lain Uliel lain pula Iraz adik saya, dia menganggap menulis itu mudah apalagi setelah mengikuti acara POSEIDON 2013 di ITS. Meskipun ada yang menganggap mudah dan banyak tips yang bertebaran baik dalam bentuk artikel maupun buku. Namun menurutku itu merupakan suatu pembuktian bahwa menulis itu sulit, sehingga perlu cara khusus agar mudah melakukannya. Bahkan untuk menulis tulisan sampai paragraf ini pun rasa malas mulai menjamah. Hal ini yang mungkin merupakan tantangan terberat dalam menulis selain pemilihan ide dan diksi. Jika dihitung antara orang menulis dan tidak menulis mungkin hasilnya lebih banyak yang tidak menulis. Entah tidak tahu, kurang kesadaran atau alasan apapun yang membuat mereka tidak menulis padahal menulis itu penting.

Verba volant, scripta manent”
Jika diterjemahkan kira-kira artinya “Apa yang tertulis akan abadi, apa yang diucapkan akan berlalu bersama angin”. Petikan kalimat dari Eyang Aristoteles, filsuf Yunani yang hidup pada 384-322 sebelum masehi. Bayangkan saja, pentingnya menulis sudah disuarakan jauh sebelum adanya tahun masehi dimana ilmu pengetahuan masih belum seluas sekarang. Bahkan sebelum adanya ayat pertama tentang perintah “bacalah” dalam surat Al-Alaq, surat pertama yang diturunkan di bumi.

Lanjut lagi setelah tulisan di atas ditelantarkan selama dua hari. Karena setelah menyelesaikan paragraf sebelumnya aku ketiduran dan baru sempat menyelesaikannya sekarang. Mengapa menulis aku menganggap penting? Tak lain adalah keabadian dari tulisan itu sendiri, seperti yang dikatakan Eyang Aristoteles. Contoh yang paling jelas dan nyata adalah Al-Qur’an, kitab suci umat Islam. Coba saja jika tidak ada inisiasi menuliskan ayat yang diturunkan pada Rosulullah dan kemudian dikumpulkan untuk membukukannya, tentunya kita tak akan bisa membaca Al-Qur’an seperti sekarang. Kita masih harus bekerja keras untuk mengingatnya sedangkan daya ingat otak kita memiliki keterbatasanan dalam mengingat. Hanya mengandalkan ingatan saja tidak akan mampu dan butuh waktu yang lama belum lagi harus diakhiri dengan kematian. Tidak akan ada sebuah keabadian.
"Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari"
Keabadian menulis juga dikatakan Om Pramoedya Ananta Toer dalam petikan di atas. Selain Al-Qu’an, masih banyak lagi contoh dari keabadian menulis. Seperti buku “Catatan Harian Seorang Demonstran”, yang berisi pemikiran Soe Hok Gie, mahasiswa Jurusan FS UI. Yang diisusun lewat pengumpulan karya-karya tulisan Gie, baik di jurnal hariannya, maupun dari tulisan-tulisannya di koran nasional. Dari tulisan-tulisannya kita bisa mengetahui apa yang dipikirkan dan yang terjadi meskipun kita tidak ada di jaman itu.

Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” juga berisi perjalanan hidup seorang pahlawan wanita R.A Kartini dan surat-surat yang ia tujukan kepada saudari serta sahabat-sahabatnya. Dimana isi dari surat-surat itu adalah tentang cita-citanya untuk memajukan kaum wanita, harapan-harapanya dan perjalanan hidupnya. Berawal dari menulis, sebuah pemikiran tentang emasipasi wanita yang dapat dirasakan hingga saat ini. Bahkan hari kelahirannya dijadikan hari besar di Indonesia yang diperingati setiap 21 April sebagai Hari Kartini.
“Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang”
Setelah mengerti pentingnya menulis petikan di atas dari Om Seno Gumira Ajidarma mungkin bisa sedikit meringankan kesulitan dalam menulis. Tulis saja apa yang ingin dituliskan, tentang pemikiran, kejadian atau apapun itu yang kita ingin tuliskan. Dengan menulis kita bisa mengurangi space ingatan di dalam otak kita sebagai bentuk pengabadian dan penolakan terhadap lupa. Terinspirasi dari kata-katanya temanku DiekeyLalijiwo yang berada di bawah header blog-ku, berbunyi: 

“TULIS.. TULIS.. TULIS..
Kartini dikenang karena dia menulis..
Pramoedya dikenang karena dia menulis..
Soe Hok Gie dikenang karena dia menulis..
Jika kau tidak menulis,
Maka kau telah mati sebelum dilahirkan..”
 Aku juga memiliki kata-kataku sendiri.
“Tanpa Menulis, Keberadaanmu Tidak Bisa Dibuktikan”
[]

3 komentar:

pusmayaayu mengatakan...

menulislah atau kau tidak akan menjadi bagian dari sejarah :D

Unknown mengatakan...

hwehe..
ayo menulis..
;)

Bimo Mahameru mengatakan...

keren kak !

Posting Komentar