Gegara Ulil
mengerjakan skripsi bertemakan perkembangan musik, saya teman setengah
perjuangannya ikut kecipratan. Akhir-akhir memang saya, Ulil, mas Bebeh dan
beberapa teman lain lumayan intens berbincang tentang musik. Malam ini tanpa
sengaja membahas buku pedoman sekolah dasar yang telah mengenalkan bahasa dan
sastra, mas Bebeh lanjut mengatakan buku seni. Dia menjelaskan tentang not
balok, ketukan yang mengatur ritme dan tempo lagu hingga tangga nada diatonis
dan pentatonis kepada Ulil.
Sembari ikut
menimpali apa yang dijelaskan mas Bebeh ingatan saya dibangunkan pada masa smp.
Saat itu saya memang sangat tertarik dengan musik dan berharap bisa membaca not
balok. Akhirnya saya pun sangat fasih membaca not angka daripada not balok,
usaha saya saat itu gagal. Sederhana, sejak kecil oleh ibu saya diajarkan dan
terbiasa dengan not angka tiap kali bermain alat musik keyboard. Yang saya tahu
saat itu not balok merupakan standar internasional dalam penulisan tangga nada
bukan not angka. Apabila ingin menekuni dunia musik, not balok harus dikuasai
terlebih dahulu pikir saya. Selain itu saya juga sangat mengagumi penggalan
kisah Eross gitaris Sheila on 7 yang sejak SD atau SMP (saya lupa :P) sudah melahap habis not
balok dan sempat mencengangkan guru musik di sekolahnya.
Mata
pelajaran seni terutama musik adalah favorit saya. Sampai-sampai hampir tiap
hari saya meluangkan waktu untuk mempelajari teori dari buku acuan yang
digunakan. Tak jarang sembari mengulang, saya juga mempelajari materi yang
belum diajarkan. Semangat saya begitu berapi-api saat itu. Namun tak lama,
hanya di bangku SMP selama 3 tahun materi itu saya pelajari. Saat di SMA seni
tetap jadi mata pelajaran favorit namun karena tidak ada seni musik maka
banting stir ke rupa.
Not balok
tidak berhasil saya tandaskan, namun di kelas dua sma saya kembali membuka
teori musik untuk belajar bermain gitar. Sama seperti yang dijelaskan mas
bebeh, not balok, ketukan dan diatonis menjadi acuan belajar gitar meskipun
sedikit ada penyesuaian dalam not balok (tabulature / tab) gitar. Akhirnya saya
bisa mempelajari gitar meskipun sangat tidak fasih. Lekat dalam ingatan untuk
membeli sebuah gitar saya rela tidak mengikuti karyawisata ke Bali dan berdiam
diri selama tiga hari di kamar untuk membiasakan memegang dan menggenjreng
gitar secara otodidak. Sialnya, saya menggunakan teori menggenjreng dari guru pengganti
pelajaran musik saat kelas 3 SMP dan teman-teman menertawakan. Cara
menggenjreng yang diajarkan ala spanyol dengan 5 jari bukan seperti yang biasa
dilakukan teman-teman –menggunakan ibu jari dan telunjuk-. Setelah kembali
berlatih lagu pertama yang berhasil saya selsaikan adalah Demi Waktu dari Ungu.
Tak hanya
berhenti di gitar, sekitar setahun kemudian saya iseng membeli buku teori
bermain bass. Saat itu saya merasa pemain bass itu keren, terinspirasi dari Reita
the Gazette. Masih otodidak, saya menggunakan gitar sebagai media mempelajari
bass. Saya gagal mempelajari chord bass namun berhasil membaca tab bass dan
menyelesaikan bagian bass lagu Cassis the Gazette. Mencoba lebih intim dengan
gitar ternyata gagal, saya tak pernah bisa lepas dari buku chord lagu. Menyadari pola belajar yang lambat keisengan
saya kembali, saya membeli buku teori drum dan mencoba bermain drum imajiner. Hasilnya
sungguh tidak baik, ibu selalu marah apabila tangan dan kaki saya bergerak -seperti memegang stik memukul hi hat, snare dan menginjak pedal bass drum- saat
duduk dan mengeluarkan suara keteplekan, katanya.
Saya baru
benar-benar memegang real drum saat di UKMK Dolanan. Hampir setiap malam saya
selalu berharap ada latihan di studio, hanya untuk bisa bermain drum walau
sebentar. Merasa agak bermasalah dengan koordinasi tangan dan kaki saya sedikit
patah arang dengan drum meskipun pada akhirnya pernah mengiringi bermain drum
saat yudisium. Saya beralih tertarik ke jimbe, alat musik yang identik dengan
lagu aliran reagge. Semula saya berpikir suara yang dihasilkan akan mirip
dengan snare dan bass drum, ternyata tidak. Memang di jimbe juga memiliki nada
tersebut. Tidak puas dengan jimbe dan pernah di luar rencana bermain cajon saat
menjadi pengiringi akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada cajon sebagai alat
musik yang saya fokuskan. Agak bimbang juga sebenarnya menjatuhkan pilihan pada
alat musik yang menjadi pusat tempo dari sebuah lagu.[]
ps : hah, dari not balok bisa melebar
sejauh ini. Sialnya, ibu tak pernah mendukung saya belajar alat musik dari
gitar sampai cajon. Padahal dari ibu juga akhirnya saya bisa sejauh ini. Sedihnya
adalah gitar saksi perjalanan saya belajar gitar dan bass hilang setelah
dipinjam teman.
0 komentar:
Posting Komentar