Dan ku tuliskan sebuah kalimat “ich liebe dich” sebagai pembuka buku itu.
“ich liebe dich auch” yang kemudian kau tuliskan pada baris kedua dalam lembaran yang sama.
Dari kalimat bahasa Jerman itulah cerita tentang hidup kita mulai kita tulis bersama.
Kita mulai mencoba menggunakan warna tinta cerah untuk mengisi cerita tiap lembar dan menghiasi tulisan itu.
Mulai
dari warna biru yang menunjukkan kesetiaan, warna hijau yang
menunjukkan kesegaran hingga pada akhirnya kita sepakat mengunakan warna
merah muda yang menunjukkan kasih sayang.
Terkadang sering tak
sengaja terbentuk coretan kecil ketidak sengajaan yang membuat tak indah
dipandang mata atau bahkan kita mencorat-coret lembar halaman tersebut
tanpa ada sebuah huruf pun yang kita tinggalkan.
Tak jarang aku mengalah membiarkanmu menuliskan sajak yang kau inginkan dalam lembaran tersebut.
Membiarkanmu menggambar dan menghiasi tiap halaman dengan hanya sedikit catatan kecil berupa tanggal yang selalu kutinggalkan.
Lembar demi lembar, bab demi bab telah selesai kita tuliskan hingga akhirnya terselesaikanlah buku pertama kita.
Buku yang terbalut sampul kesederhanaan yang berisikan mellodrama keterbukaan, ketulusan dan pengorbanan.
Tak
seperti buku pertama yang masih harus mencari-cari dan mencoba-coba,
kita dengan kepastian mulai menuliskan cerita selanjutnya dalam buku
kedua.
Sebuah tanda bibir dengan warna merah muda yang sangat
lembut menghiasi halaman pertama buku ini, yang memberikan kesan suatu
kehangatan dan kelembutan.
Ternyata jauh berbeda gaya penulisan dan setting yang kita tulis di buku kedua ini.
Alur dalam tulisan kita mulai mengalami suatu perubahan seiring dengan perubahan emosi dan pemikiran kita.
Dalam pengungkapan setiap kata dalam setiap lembaran buku kedua yang lebih bermakna dan dalam.
Kita lebih sering berebut menuliskan cerita dalam buku ini, berebut lanjutan dari cerita ini.
Tak jarang kita kehabisan ide menjawab polemik yang telah kita tuangkan dalam buku kita.
Kebersamaan kita untuk meneruskan cerita dalam buku ini selalu ada dan terus ada meskipun sering menemui jalan buntu.
Waktu akhirnya membuat kita mengosongkan lembaran demi lembaran buku tersebut.
Kita
terbengkalai oleh kenikmatan dan kesenangan kita masing-masing dan
kecenderunganku yang lebih memilih tinta yang terbaik yang akan kita
torehkan.
Tak kusadari bahwa cerita itu harus terus berlanjut dan harus terus kita tulis meskipun hanya satu kata tiap lembar.
Kubiarkan dirimu melanjutkan cerita itu meskipun penuh ketimpangan dan ketidak singkronan dengan cerita sebelumnya.
Hingga
buku tersebut tak terselesaikan dengan goresan tinta warna merah muda
dan buku tersebut tak mencapai akhir bagian cerita.
Dua bab terakhir dari buku kedua kita belum sempat dan tak akan bisa dilanjutkan kembali.
Tapi dalam hangat dan cerahnya sinar kesenangan dan derasnya hujan air mata telah tertuang dalam lembaran-lembaran buku itu.
Halaman
11112 ini harusnya menjadi penutup buku kedua dari lembaran-lembaran
goresan cerita tinta merah muda, tapi kita tidak bisa menyelesaikannya.