TULIS.. TULIS.. TULIS..
Kartini dikenang karena dia menulis..
Pramoedya dikenang karena dia menulis..
Soe Hok Gie dikenang karena dia menulis..
Jika kau tidak menulis,
Maka kau telah mati sebelum dilahirkan..

-Diekey Lalijiwo-

Jumat, 01 Februari 2013

Belenggu yang Tak Disadari

Hujan, Senja dan Cinta sebuah cerita pendek dari Seno Gumira Ajidarma yang membisu di browser layar laptopku sejak semalam. Link sebuah blog yang berisi semua tentangnya. Aku mendapatkan dari posting temanku Sadam untuk Vindri di timeline jejaring sosial. Sadam suka sekali hujan, mungkin dia ingin Vindri tahu lebih tentang hujan. Penasaran membawaku untuk menekan mouse dan meng-klik link tersebut. Dalam hitungan detik sebuah karyanya tepat di depan mukaku dari sebuah blog berjudul Dunia Sukab dengan font Lucida Calligraphy. Seno Gumira Ajidarma berada di bawah tulisan Dunia Sukab dengan font Times New Roman dan ukuran yang lebih kecil. 

Tertarik aku untuk membacanya, tetapi aku masih dalam proses menulis di blog berjudul Sejarah Pabrik Gula;Keberlanjutan dan Prospek Wisata. Semalam setelah kafe tutup, aku langsung membuat tulisan geje itu. Padahal aku cukup lelah dan ngantuk, tapi aku paksakan mataku untuk terbuka dan menulis. Entah kenapa aku ingin menulis tentang suikerfabriek (pabrik gula) dan menelusuri jejak sejarahnya. Hanya saja di tulisan itu aku tak menuliskan sisi sejarah yang dalam. Berbeda dengan Sisi Mata Uang PabrikGula yang sedikit lebih dalam menguak sisi sejarahnya. 

Tapi, yang terjadi aku malah enggan untuk membacanya bahkan sampai tulisan ini terbit. Aku tertarik dengan laman berjudul Seno Gumira Ajidarma, siang tadi. Sejak semalam aku belum mematikan laptopku bahkan sampai sekarang, itu kebiasaanku. Langsung saja meng-klik link itu dan muncul foto dari pemilik nama itu yang duduk di belakang meja dengan wajah tertunduk. Sebuah gelas dan microphone berada di depannya. Foto hitam putih ber-frame hitam dengan caption namanya berwarna putih. Kuputar scroll mouse untuk melihat tulisan di bawah foto itu dan mulai membaca tulisan berjudul profil. Dia anak dari seorang guru besar Fakultas MIPA UGM yang menjadi seorang sastrawan. Dengan gelar Doktor yang sekarang menjadi pemanjang namanya, hal itu cukup mencengangkan dan kontras. Aku membaca sampai selesai di judul Profil dan aku sedikit kaget. Kalimat darinya tertulis seperti ini, “Entah kenapa. Ilmu pasti itu kan harus pasti semua dan itu tidak menyenangkan”.

Dari kalimat itu aku berpikir dan tersadar. Latar pendidikan yang kontras dengan ayahnya membuatku berpikir tentang perbedaan antara ilmu eksak dan sosial. Ilmu eksak adalah ilmu yg berdasarkan ketepatan dan kecermatan dalam metode penelitian dan analisis. Sedangkan, ilmu sosial adalah ilmu tentang perilaku kehidupan manusia sebagai makhluk hidup yang bermasyarakat. Paling tidak itu definisi yang kudapatkan dari kamusbesar.com. Terlihatlah perbedaan itu sekarang, sebelum menulis aku hanya memperkirakan perbedaan keduanya, yaitu sibuk dan santai. Kecenderungan kehidupan mahasiswa di kampus UNEJ seperti itu menurut penglihatan dan pengalaman yang kutahu.

Pikiranku tadi sudah terlampau jauh untuk memikirkan perbedaan itu. Otakku menemukan perbedaan dari sisi lain antara mahasiswa eksak dan sosial. Tentang manusia yang terbelenggu oleh sistem dan kekuasaan. Seperti aku sebagai mahasiswa fakultas eksak yang oleh teman persma FISIP sebagai sayap kanan karena berada di sebelah kanan patung pendiri UNEJ. Mereka adalah sayap kiri, fakultas sosial. Mahasiswa yang disebut sebagai siswa yang kedudukannya paling tinggi ternyata terbelenggu. Mereka, termasuk aku terbelenggu oleh tanggung jawab karena sandangan maha di depan siswa. Sistem pengajaran, yang berubah-ubah terutama kurikulum dan mengharuskan angkatan tua untuk segera menyelesaikan studi. Apabila tidak, mereka akan mengulang mata kuliah dengan angkatan yang baru dengan jumlah kredit yang besar. Birokrasi, yang membuat mahasiswa memenuhi semua kebijakan yang diturunkan baik dari rektorat maupun dekanat. Mungkin itu semua masih belum ada bedanya dengan mahasiswa ilmu sosial. Keduanya masih merasakan semuanya.

Satu yang mungkin kurang terlalu kita sadari sebagai mahasiswa eksak adalah disiplin ilmu yang membelenggu mahasiswa. Mengapa? Kita kembalikan ke pengertian dari ilmu eksak itu sendiri. Ilmu eksak didasarkan pada ketepatan dan kecermatan. Ketepatan dan kecermata membelenggu kita dengan semua alat ukur yang kita gunakan,seperti: penggaris, neraca, gelas ukur dan sejenisnya. Kita pada akhirnya harus terpaku pada alat yang mengharuskan mendapat ketepatan dan kecermatan. 

Dalam metode penelitian dan analisis, ternyata sekedar alat ukur saja tidak cukup membelenggu kita. Kita harus menggunakan cara yang sudah paten dan baku, seperti: metode, teori atau hukum yang ditemukan para ahli puluhan atau ratusan tahun yang lalu. Hal itu juga terjadi dan dialami oleh analisis yang akhirnya mendukung metode penelitian untuk mendapatkan jawaban. Jawaban yang didapatkan selalu pasti dan tidak bisa diubah. Jika ingin mengubahnya maka kita harus menemukan teori atau hukum sendiri, bahkan menemukannya. Akhirnya menjadikan kiblat sebelum dan selama proses penentuan jawaban dari sebuah pertanyaan.

Dalam hal ini pendapat atau pandangan kita tidak bisa berlaku dalam ilmu eksak. Semuanya harus dibuktikan dengan metode penelitian dan analisa. Rekayasa atau karangan tidak berlaku untuk menjawab sebuah pertanyaan. Berbeda dengan ilmu sosial yang masih bisa mengembangkan sebuah teori atau huku tentang disiplin ilmu mereka. Bahkan untuk menjawab sebuah pertanyaan mereka bisa memasukkan pandangan dan pendapat mereka selama masih mengacu pada benang merah yang dimaksudkan.

Jika dikembalikan pada pengertian ilmu sosial yang sebelumnya, ilmu tersebut memperlajari tentang perilaku kehidupan manusia sebagai makhluk hidup bermasyarakat. Manusia sendiri bukan robot yang hanya memiliki satu perilaku, tetapi banyak. Dari penciptaannya sendiri manusia berbeda, dari jenis kelamin, umur, pekerjaan, sifat dan lain sebagainya. Selain itu masyarakat juga tidak hanya sejenis saja, ada banyak jenis manusia. dari ras, suku, agama, budaya dan masih banyak lagi. Itu pun akan membentuk perilaku yang berbeda dan beragam. Bahkan kita mungkin hampir tak bisa menghitungnya. Sehingga menurutku ilmu sosial lebih fleksibel dan bebas dalam mendapatkan jawaban.

Dari beberapa hal di atas, aku merasakan belenggu tambahan yang entah bisa melepaskan pikiranku atau tidak. Aku pun yakin mereka di luar sana tak banyak yang sadar bahwa mereka terbelenggu. Pikiran mereka hampir menyerupai seperti sebuah robot. Paten dan konstan. 

Beberapa waktu tadi saat proses menuliskan penjelasan metode dan analisis aku teringat sesuatu. Teori diskursus dari Michel Foucault, yang pernah menjadi salah satu bahan diskusi analisis sosial di persma tingkat universitas. Entah benar atau salah, yang kutulis mirip atau mungkin termasuk dalam teori itu. Aku masih belum mencari kebenarannya, materi filsafat masih belum mampu kuserap saat ini. Meskipun aku sebenarnya sangat tertarik mempelajarinya lebih dalam.

Sekarang di warung kopi belakang kampus dini hari, otakku segar berpikir. Karena segelas kopi menyanding di sebelah kananku. Ada sebersit pikiran yang terlintas tiba-tiba. Satu hal yang mungkin tak terbelenggu dengan sekat antara eksak dan sosial maupun segala tetek bengek-nya, yaitu kreativitas. Selama ada kreativitas maka pikiran kita akan terbebaskan tanpa memandang eksak atau sosial dan benar-benar tanpa ada belenggu. []

0 komentar:

Posting Komentar