Hujan, Senja dan Cinta sebuah
cerita pendek dari Seno Gumira Ajidarma yang membisu di browser layar laptopku sejak semalam. Link sebuah blog yang
berisi semua tentangnya. Aku mendapatkan dari posting temanku Sadam untuk Vindri di timeline jejaring sosial. Sadam suka sekali hujan, mungkin dia
ingin Vindri tahu lebih tentang hujan. Penasaran membawaku untuk menekan mouse dan meng-klik link tersebut. Dalam hitungan detik sebuah karyanya tepat di
depan mukaku dari sebuah blog berjudul Dunia Sukab dengan font Lucida Calligraphy. Seno Gumira Ajidarma berada di bawah
tulisan Dunia Sukab dengan font Times New
Roman dan ukuran yang lebih kecil.
Tertarik aku untuk membacanya,
tetapi aku masih dalam proses menulis di blog berjudul Sejarah Pabrik Gula;Keberlanjutan dan Prospek Wisata. Semalam setelah kafe tutup, aku langsung
membuat tulisan geje itu. Padahal aku
cukup lelah dan ngantuk, tapi aku paksakan mataku untuk terbuka dan menulis.
Entah kenapa aku ingin menulis tentang suikerfabriek
(pabrik gula) dan menelusuri jejak sejarahnya. Hanya saja di tulisan itu aku
tak menuliskan sisi sejarah yang dalam. Berbeda dengan Sisi Mata Uang PabrikGula yang sedikit lebih dalam menguak sisi sejarahnya.
Tapi, yang terjadi aku malah
enggan untuk membacanya bahkan sampai tulisan ini terbit. Aku tertarik dengan
laman berjudul Seno Gumira Ajidarma, siang tadi. Sejak semalam aku belum
mematikan laptopku bahkan sampai sekarang, itu kebiasaanku. Langsung saja meng-klik
link itu dan muncul foto dari pemilik nama itu yang duduk di belakang meja
dengan wajah tertunduk. Sebuah gelas dan microphone berada di depannya. Foto
hitam putih ber-frame hitam dengan caption namanya berwarna putih. Kuputar scroll mouse untuk melihat tulisan di bawah foto itu dan mulai membaca
tulisan berjudul profil. Dia anak dari seorang guru besar Fakultas MIPA UGM
yang menjadi seorang sastrawan. Dengan gelar Doktor yang sekarang menjadi
pemanjang namanya, hal itu cukup mencengangkan dan kontras. Aku membaca sampai
selesai di judul Profil dan aku sedikit kaget. Kalimat darinya tertulis seperti
ini, “Entah kenapa. Ilmu pasti itu kan
harus pasti semua dan itu tidak menyenangkan”.
Dari kalimat itu aku berpikir dan
tersadar. Latar pendidikan yang kontras dengan ayahnya membuatku berpikir
tentang perbedaan antara ilmu eksak dan sosial. Ilmu eksak adalah ilmu yg berdasarkan ketepatan dan kecermatan dalam metode
penelitian dan analisis. Sedangkan, ilmu sosial adalah ilmu tentang perilaku
kehidupan manusia sebagai makhluk hidup yang bermasyarakat. Paling tidak itu
definisi yang kudapatkan dari kamusbesar.com. Terlihatlah perbedaan itu
sekarang, sebelum menulis aku hanya memperkirakan perbedaan keduanya, yaitu
sibuk dan santai. Kecenderungan kehidupan mahasiswa di kampus UNEJ seperti itu
menurut penglihatan dan pengalaman yang kutahu.
Pikiranku
tadi sudah terlampau jauh untuk memikirkan perbedaan itu. Otakku menemukan
perbedaan dari sisi lain antara mahasiswa eksak dan sosial. Tentang manusia
yang terbelenggu oleh sistem dan kekuasaan. Seperti aku sebagai mahasiswa
fakultas eksak yang oleh teman persma FISIP sebagai sayap kanan karena berada
di sebelah kanan patung pendiri UNEJ. Mereka adalah sayap kiri, fakultas
sosial. Mahasiswa yang disebut sebagai siswa yang kedudukannya paling tinggi
ternyata terbelenggu. Mereka, termasuk aku terbelenggu oleh tanggung jawab
karena sandangan maha di depan siswa. Sistem pengajaran, yang berubah-ubah
terutama kurikulum dan mengharuskan angkatan tua untuk segera menyelesaikan
studi. Apabila tidak, mereka akan mengulang mata kuliah dengan angkatan yang
baru dengan jumlah kredit yang besar. Birokrasi, yang membuat mahasiswa memenuhi
semua kebijakan yang diturunkan baik dari rektorat maupun dekanat. Mungkin itu
semua masih belum ada bedanya dengan mahasiswa ilmu sosial. Keduanya masih
merasakan semuanya.
Satu
yang mungkin kurang terlalu kita sadari sebagai mahasiswa eksak adalah disiplin
ilmu yang membelenggu mahasiswa. Mengapa? Kita kembalikan ke pengertian dari
ilmu eksak itu sendiri. Ilmu eksak didasarkan pada ketepatan dan kecermatan.
Ketepatan dan kecermata membelenggu kita dengan semua alat ukur yang kita
gunakan,seperti: penggaris, neraca, gelas ukur dan sejenisnya. Kita pada
akhirnya harus terpaku pada alat yang mengharuskan mendapat ketepatan dan
kecermatan.
Dalam
metode penelitian dan analisis, ternyata sekedar alat ukur saja tidak cukup
membelenggu kita. Kita harus menggunakan cara yang sudah paten dan baku,
seperti: metode, teori atau hukum yang ditemukan para ahli puluhan atau ratusan
tahun yang lalu. Hal itu juga terjadi dan dialami oleh analisis yang akhirnya
mendukung metode penelitian untuk mendapatkan jawaban. Jawaban yang didapatkan
selalu pasti dan tidak bisa diubah. Jika ingin mengubahnya maka kita harus
menemukan teori atau hukum sendiri, bahkan menemukannya. Akhirnya menjadikan
kiblat sebelum dan selama proses penentuan jawaban dari sebuah pertanyaan.
Dalam
hal ini pendapat atau pandangan kita tidak bisa berlaku dalam ilmu eksak.
Semuanya harus dibuktikan dengan metode penelitian dan analisa. Rekayasa atau
karangan tidak berlaku untuk menjawab sebuah pertanyaan. Berbeda dengan ilmu
sosial yang masih bisa mengembangkan sebuah teori atau huku tentang disiplin
ilmu mereka. Bahkan untuk menjawab sebuah pertanyaan mereka bisa memasukkan
pandangan dan pendapat mereka selama masih mengacu pada benang merah yang
dimaksudkan.
Jika dikembalikan
pada pengertian ilmu sosial yang sebelumnya, ilmu tersebut memperlajari tentang
perilaku kehidupan manusia sebagai makhluk hidup bermasyarakat. Manusia sendiri
bukan robot yang hanya memiliki satu perilaku, tetapi banyak. Dari penciptaannya
sendiri manusia berbeda, dari jenis kelamin, umur, pekerjaan, sifat dan lain
sebagainya. Selain itu masyarakat juga tidak hanya sejenis saja, ada banyak
jenis manusia. dari ras, suku, agama, budaya dan masih banyak lagi. Itu pun akan
membentuk perilaku yang berbeda dan beragam. Bahkan kita mungkin hampir tak
bisa menghitungnya. Sehingga menurutku ilmu sosial lebih fleksibel dan bebas
dalam mendapatkan jawaban.
Dari
beberapa hal di atas, aku merasakan belenggu tambahan yang entah bisa
melepaskan pikiranku atau tidak. Aku pun yakin mereka di luar sana tak banyak
yang sadar bahwa mereka terbelenggu. Pikiran mereka hampir menyerupai seperti
sebuah robot. Paten dan konstan.
Beberapa
waktu tadi saat proses menuliskan penjelasan metode dan analisis aku teringat
sesuatu. Teori diskursus dari Michel Foucault, yang pernah menjadi salah satu bahan
diskusi analisis sosial di persma tingkat universitas. Entah benar atau salah,
yang kutulis mirip atau mungkin termasuk dalam teori itu. Aku masih belum
mencari kebenarannya, materi filsafat masih belum mampu kuserap saat ini. Meskipun
aku sebenarnya sangat tertarik mempelajarinya lebih dalam.
Sekarang
di warung kopi belakang kampus dini hari, otakku segar berpikir. Karena segelas
kopi menyanding di sebelah kananku. Ada sebersit pikiran yang terlintas
tiba-tiba. Satu hal yang mungkin tak terbelenggu dengan sekat antara eksak dan
sosial maupun segala tetek bengek-nya,
yaitu kreativitas. Selama ada kreativitas maka pikiran kita akan terbebaskan
tanpa memandang eksak atau sosial dan benar-benar tanpa ada belenggu. []
0 komentar:
Posting Komentar