"Menulis itu lebih sulit daripada membaca, apalagi berbicara. Itu sudah saya buktikanberulangkali"
Dini hari tadi, saat kubuka akun
facebook status ini terpampang di beranda. Masih berada sekitar lima teratas.
Uliel Petrik yang menuliskan status itu di akunnya. Aku membuat tulisan ini dua
jam setelah tulisan itu dibuat. Dan kuakui status yang dibuatnya ada benarnya
setelah aku juga mengalaminya. Hal ini dibuktikan dari jumlah dan jarak
posting-an yang ada di blog ini. Hanya sedikit tulisan yang aku buat, bahkan
butuh waktu yang lumayan lama untuk membuat satu tulisan yang menurutku bagus.
Di blog ini kuberi tanda “rangkaian kata membosankan”.
Dari status tadi aku penasaran dengan
apa itu menulis. Meskipun hal itu mendasar dan biasa dilakukan di dunia jurnalistik
serta menurutku sederhana. Setahuku menulis adalah pekerjaan/kegiatan membuat
tulisan, dari kata dasar tulis dan mendapat awalan me- yang artinya melakukan
pekerjaan. Pemikiranku tadi pun mungkin mirip dengan arti kedua dari menulis
menurut KBBI,” melahirkan pikiran atau
perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan”.
Pengertian di atas membuatku lebih mengerti
apa itu menulis. Lain Uliel lain pula Iraz adik saya, dia menganggap menulis itu mudah apalagi setelah mengikuti acara POSEIDON 2013 di ITS. Meskipun ada yang
menganggap mudah dan banyak tips yang bertebaran baik dalam bentuk artikel maupun
buku. Namun menurutku itu merupakan suatu pembuktian bahwa menulis itu sulit,
sehingga perlu cara khusus agar mudah melakukannya. Bahkan untuk menulis
tulisan sampai paragraf ini pun rasa malas mulai menjamah. Hal ini yang mungkin
merupakan tantangan terberat dalam menulis selain pemilihan ide dan diksi. Jika
dihitung antara orang menulis dan tidak menulis mungkin hasilnya lebih banyak
yang tidak menulis. Entah tidak tahu, kurang kesadaran atau alasan apapun yang membuat
mereka tidak menulis padahal menulis itu penting.
“Verba volant, scripta manent”
Jika
diterjemahkan kira-kira artinya “Apa yang tertulis
akan abadi, apa yang diucapkan akan berlalu bersama angin”. Petikan kalimat dari Eyang Aristoteles, filsuf
Yunani yang hidup pada 384-322 sebelum masehi. Bayangkan saja, pentingnya
menulis sudah disuarakan jauh sebelum adanya tahun masehi dimana ilmu
pengetahuan masih belum seluas sekarang. Bahkan sebelum adanya ayat pertama tentang
perintah “bacalah” dalam surat Al-Alaq, surat pertama yang diturunkan di bumi.
Lanjut lagi setelah tulisan di
atas ditelantarkan selama dua hari. Karena setelah menyelesaikan paragraf sebelumnya aku ketiduran dan baru sempat menyelesaikannya sekarang. Mengapa menulis aku menganggap penting? Tak lain
adalah keabadian dari tulisan itu sendiri, seperti yang dikatakan Eyang
Aristoteles. Contoh yang paling jelas dan nyata adalah Al-Qur’an, kitab suci
umat Islam. Coba saja jika tidak ada inisiasi menuliskan ayat yang diturunkan
pada Rosulullah dan kemudian dikumpulkan untuk membukukannya, tentunya kita tak
akan bisa membaca Al-Qur’an seperti sekarang. Kita masih harus bekerja keras
untuk mengingatnya sedangkan daya ingat otak kita memiliki keterbatasanan dalam
mengingat. Hanya mengandalkan ingatan saja tidak akan mampu dan butuh waktu
yang lama belum lagi harus diakhiri dengan kematian. Tidak akan ada sebuah
keabadian.
"Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari"
Keabadian menulis juga dikatakan
Om Pramoedya Ananta Toer dalam petikan di atas. Selain Al-Qu’an, masih banyak
lagi contoh dari keabadian menulis. Seperti buku “Catatan Harian Seorang
Demonstran”, yang berisi pemikiran Soe Hok Gie, mahasiswa Jurusan FS UI. Yang
diisusun lewat pengumpulan karya-karya tulisan Gie, baik di jurnal hariannya,
maupun dari tulisan-tulisannya di koran nasional. Dari tulisan-tulisannya
kita bisa mengetahui apa yang dipikirkan dan yang terjadi meskipun kita tidak
ada di jaman itu.
Buku “Habis Gelap Terbitlah
Terang” juga berisi perjalanan hidup seorang pahlawan wanita R.A Kartini dan surat-surat
yang ia tujukan kepada saudari serta sahabat-sahabatnya. Dimana isi dari
surat-surat itu adalah tentang cita-citanya untuk memajukan kaum wanita,
harapan-harapanya dan perjalanan hidupnya. Berawal dari menulis, sebuah
pemikiran tentang emasipasi wanita yang dapat dirasakan hingga saat ini. Bahkan
hari kelahirannya dijadikan hari besar di Indonesia yang diperingati setiap 21
April sebagai Hari Kartini.
“Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang”
Setelah mengerti pentingnya
menulis petikan di atas dari Om Seno Gumira Ajidarma mungkin bisa sedikit
meringankan kesulitan dalam menulis. Tulis saja apa yang ingin dituliskan,
tentang pemikiran, kejadian atau apapun itu yang kita ingin tuliskan. Dengan menulis
kita bisa mengurangi space ingatan di dalam otak kita sebagai bentuk pengabadian
dan penolakan terhadap lupa. Terinspirasi dari kata-katanya temanku DiekeyLalijiwo yang berada di bawah header blog-ku, berbunyi:
“TULIS.. TULIS.. TULIS..Kartini dikenang karena dia menulis..Pramoedya dikenang karena dia menulis..Soe Hok Gie dikenang karena dia menulis..Jika kau tidak menulis,Maka kau telah mati sebelum dilahirkan..”
Aku juga memiliki kata-kataku sendiri.
“Tanpa Menulis, Keberadaanmu Tidak Bisa Dibuktikan”[]
3 komentar:
menulislah atau kau tidak akan menjadi bagian dari sejarah :D
hwehe..
ayo menulis..
;)
keren kak !
Posting Komentar