Aku terakhir masuk
kamar, lalu kututup pintu dan kukunci sekalian. Vira menaruh barang bawaannya
di meja dan melepaskan jilbabnya. Aku lepas jaket dan kugantung digantungan
baju yang berada di balik pintu. Kemudian, kutaruh tasku di meja di sudut
kamar. Kuambil remote tv di meja tempat
Vira menaruh barang bawaannya lalu kunyalakan tv sambil menunggu di melepas asesorisnya.
Tak lama kudatangi dia,
kupeluk dia dari belakang dan kuciumi tubuhnya yang beraroma khas. Dengan tanggap
diapun berbalik lalu bibir kita menyatu, kita berciuman. Selagi menikmati ciuman
itu kita saling melepaskan pakaian sampai tak mengenakan sehelai benang pun.
Kugiring lalu kurebahkan di atas rajang yang masih rapi sambil terus menikmati
bibirnya yang lembut serta memainkan lidah kita di dalam mulut. Kita sudah
terangsang sejak berciuman tadi. Kini kumulai meremas kedua payudaranya,
kujilati putingnya yang memerah sampai kita benar-benar tidak tahan lagi. Permainan
terjadi tanpa pikir panjang dan tanpa disadari. Kemudian kita klimaks sambil
terus berciuman dan berpelukan erat.
Seperti biasa sperma
kukeluarkan diluar vaginanya karena tiap pertama kali making love di hotel aku tidak pernah menggunakan pengaman. Itu
kebiasaan yang memang sudah kita lakukan dari pertama kita making love di hotel dan menjadi semacam ritual. Kita ingin
menikmati sensasi yang diberikan dalam bercinta. Kuberikan ciuman terakhir di
keningnya sebelum kita mandi.
Kita bersama-sama ke
kamar mandi untuk mandi. Kubiarkan Vira membasahi tubuhnya terlebih dahulu.
Sambil menunggu aku mengambil sabun yang diletakkan di wastafel depan kamar
mandi dan kuberikan Vira. Giliranku, menyiramkan air ke tubuhku sambil
membersihkan sisa sperma yang ada. Vira lalu menyabuniku dari atas sampai
bawah. Kami sempat berciuman dan berpelukan saat tubuh masih penuh dengan
sabun.
Aku menuju shower untuk menghilangkan shampo dan
sabun yang ada di tubuhku. Vira melanjutkan keramas. Aku selesai duluan dan
keluar mengambil handuk yang ada di depan kamar mandi. Kukeringkan seluruh
tubuhku sambil menunggu Vira selesai mandi. Setelah selesai Vira memanggil,”Sayang
ambilin handuk, aku udah selesai”. Langsung kuambilkan handuk dan masuk kamar
mandi untuk memberikan handuk dan berniat mengeringkan tubuhnya. Lagi-lagi
seperti biasa, Vira tak pernah mau untuk kukeringkan tubuhnya. Dia menyahut
handuk ditanganku dan segera menutupi tubuhnya. “Sana keluar, aku kan malu
kalau dilihatin lagi telanjang”,ujarnya sambil menjulurkan lidahnya.
# # # #
Trian, itu namaku. Satriandra
Meilana Yusuf lengkapnya. Aku kuliah di universitas negeri di ujung timur Jawa
Timur. Jember, kota dimana aku menemukan cinta pertamaku. Tempat menimba ilmu
dan menjalin rajutan tali cintaku untuk pertama kalinya. Bersama wanita
terindah yang penah kutemui, Vira Yudhitara Permata Rani. Wanita bertinggi 160
cm, berkulit kuning langsat, dan memiliki mata yang bulat indah serta jernih. Darah
Tionghoa mengalir kental di tubuhnya. Sulitku menggambarkan keindahannya hanya dengan
sekedar kata.
Aku sendiri sangat jauh
berbeda dengannya. Laki-laki yang tinggi hanya 165 cm, dengan kulit kuning
sedikit kecoklatan dan sedikit gendut serta style
rambut emo yang kebanyakan disamakan dengan rambut Andhika Kangen Band.
Kesamaan kita adalah sama-sama menyukai budaya Jepang dan group band L’Arc~en~Ciel.
Band yang cukup legendaris di Jepang dan eksis hingga sekarang.
Semuanya berawal dari “ich liebe dich auch” yang membuatku
mulai berani mendekatinya. Kata-kata dengan bahasa Jerman, yang berarti aku
juga cinta kamu. Balasan pesan singkat dari Vira saat iseng-iseng aku mengirim
pesan singkat dengan bahasa yang sama “ich
liebe dich”.
Kita masih menjadi
mahasiswa baru. Sejak pertama aku melihatnya ketertarikan itu mulai ada. Waktu
itu ospek, mahasiswa baru diwajibkan meminta tanda tangan panitia ospek. Dia
dan teman sekelompoknya mau meminta tanda tangan Mas Tam yang tinggal
sekontrakan denganku, yang kebetulan sedang keluar kota. Saat itu aku yang
menerima kedatangan mereka, karena tidak mendapati Mas Tama berada di
kontrakan. Akhirnya mereka putuskan pulang dan Vira meminta nomor ponselku untuk
diberi kabar apabila Mas Tama kembali.
Malam harinya dia
mengirim pesan untuk menanyakan keberadaan Mas Tama. Dengan kejailanku dan
sedikit pengetahuan bahasa Jepang dan Jerman, aku membalasnya dengan bahasa
Jepang. Ternyata Vira membalas menggunakan bahasa Jepang. Kedua aku mencoba
dengan bahasa Jerman dan dia menggunakan bahasa Jerman juga. Sejak malam itu,
aku rutin untuk mengirim pesan singkat ke Vira. Mulai dari bertanya materi
kuliah, ospek sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk menelponnya.
# # # #
Kurang lebih 2 bulan
lamanya kita komunikasi melalui ponsel. “Kamu sms-an ma anak aneh itu? Gak
salah?”, begitu kata salah satu temannya. Mungkin keanehan saat itu, karena sering
tidur di kelas saat jam kuliah dan jarang dosen mengetahunya. Semua karena
rambut bagian depanku yang panjang hingga menutupi kedua mataku. Tak salah
dosen mengira aku masih melek padahal
aku sudah di alam mimpi. Sudah pendek, selalu duduk di belakang dan itu sangat
menguntungkanku. Hanya teman-teman di sekitarku yang tahu kalau aku tidur.
Hingga “sleepy man” gelar yang
kudapat dari temanku yang sering mendapatiku tertidur pulas di kelas.
teruntuk
bidadari yang diselimuti nafas keindahan
kusematkan
rasa rindu padamu dari seluruh ruang hatiku
akan
rasa yang kupertahankan sampai kutahu jawabmu
isyarat
mata yang menjadi pemantik hilangnya rasa ragu
penenang
jiwa
ruang
angan yang kosong karena senyummu
saat
kepujanggaanku harus kugadaikan menjadi kecintaanku
kata
tak harus bermakna
ketika
cinta berkuasa atas segala makna
Saat itu tepat tanggal
24 bulan Maret seperti biasa aku menelponnya dari sekitar jam 8 malam itu. Masih
kuingat saat itu dia sedang mengerjakan laporan fisika yang beribu-ribu lembar
banyaknya. Kutemani dia mengerjakan laporan tersebut. Dia sedang sendirian
mengerjakan di kamar kosan “NENSI” alias nenek sihir kata para penghuni kosan menyebut
pemilik kosan.
Saat yang kunantikan
tiba, entah kenapa jantungku berdetak cepat tak seperti biasanya. Pukul 00.00 WPS
(Waktu Ponsel Saya) ,“Otanjobi omodeto
gozaimasu Vira Yudhitara Permata Rani”. “Hah? Apa?” katanya. Kuulangi lagi ,“Otanjobi omodeto gozaimasu Vira
Yudhitara Permata Rani”. Dia diam. Entah tak mengerti atau memang terharu,
tanpa pikir panjang kukatakan sekali lagi dengan sedikti lantang ,“Happy
Birthday yang ke 19 Vira Yudhitara Permata Rani”, biar jelas dan tidak membuat
dia tambah bingung. Dan akhirnya, aku lega semuanya telah keluar dari mulut.
Aku tak tahu yang dipikirkannya saat itu, entah senang, bingung atau
jangan-jangan malah takut ,“Terima kasih”. Jawaban setelah apa yang kukatakan.
Selama hampir 5 jam
kita mengobrol di telepon, dia kebingungan karena ternyata banyak pesan dan
panggilan tak terjawab gara-gara aku. Semua isinya mengucapkan selamat ulang
tahun kepadanya. Senang malam itu, bisa mengatakan hal yang mungkin dianggap
sepele. Malam itu “Kitaro” julukan yang diberikan olehnya dan teman-temannya
padaku. Karena menurutnya rambutku mirip dengan tokoh kartun Jepang di film “Ge
Ge Ge no Kitaro”. Kitaro adalah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang
tahun padanya yang ke-19. Sebulan kemudian kita menjadi sepasang kekasih, tepatnya
11 Mei 2010.
# # # #
Perasaanku tidak enak
pagi itu, aku merasa akan terjadi sesuatu pada Vira. Hari itu Vira pulang ke
rumahnya di Bondowoso, sekitar 30 menit dari Jember. Pukul 5 pagi dia mengendarai
motor yang biasa dia pakai. Sebenarnya aku tidak mengijinkannya karena semalam dia
pusing dan. badannya panas Tapi, karena paginya dia bilang sudah baikan aku
mengiyakan permintaannya. Entah kenapa hari itu aku melakukan aktivitas yang
tidak biasa, sedikit cemas dan bingung.
Pukul 7 aku sudah
selesai mandi, padahal perkuliahan dimulai pukul 8.45. Motor sudah kupanasi,
pakaian rapi dan buku sudah siap di dalam tas. Aku menunggu kedatangannya untuk
makan bareng dan siap berangkat kuliah. Kunyalakan sebatang kretek sambil
melihat berita pagi di televisi. Kecemasanku sangat terlihat, aku terus
mondar-mandir sambil terus mengawasi jam di dinding.
“Sayang aku
kecelakaan”, pesan singkat dari Vira. Tepat pukul 8, pesan itu menjawab
kecemasanku pagi itu. Aku langsung menelponnya, menanyakan keberadaan dan
bagaimana kondisinya. Vira menjawab dengan nada kesakitan dan terisak,”Kaki ma tangan kiriku gak bisa digerakin. Sakit”. Lalu menutup telepon. Pikirku dia patah
tulang. Aku mengirim pesan menanyakan keberadaannya, tak lama dia membalasnya. Kuambil
helm dan menuju Puskesmas dimana dia dirawat sementara. Aku bahkan lupa
mengenakan jaket.
Kukencangkan laju
motorku untuk segera mengetahui kondisinya. Padahal aku tidak tahu dimana letak
Puskesmas itu. Aku hanya memikirkan Vira. 15 menit kemudian aku sampai daerah
yang disebutkan. Kupelankan laju motorku sambil memperhatikan sepanjang jalan
mencari lokasi Puskesmas itu. Tampak di kanan jalan ada mobil Avansa hitam
parkir dan aku ingat itu mobil papanya. Aku membalikkan arah laju dan mendekati
mobil itu. Kulihat Vira berada di bagian tengah mobil diapit mamanya dan
neneknya. Saat aku berhenti mobil melaju
meninggalkan Jember. Aku mengikuti, terlihat sepintas wajah Vira menahan sakit
sambil menangis.
Mobil pun melaju dengan
kencang dan aku mengikuti di belakangnya. Berharap lukanya tidak terlalu parah.
Sekitar 30 menit kemudian memasuki kota Bondowoso, aku tak tahu sama sekali
kota itu. Aku terus membuntuti mobilnya. Pikirku sudah dekat dengan rumah sakit
Bondowoso dia akan segera mendapatkan perawatan. Tapi, mobil terus melaju
keluar kota itu.
Aku bertanya-tanya.
Akan dibawa kemanakan Vira? Aku teringat orang tua dari papanya berada di
Situbondo. Akankah dibawa kesana? Untuk apa? Haruskah sejauh itu? Pertanyaan
terus ada di pikiranku. Diikuti kekhawatiran akan isi bensin motorku. Aku tak
sempat mengisinya, terakhir kali dua hari yang lalu. Apabila berhenti untuk
mengisi di SPBU aku akan ketinggalan, kalau terus apakah cukup? Pikiranku tak
menentu saat kulihat speedometer
menunjukkan angka 100 km/jam. Panas mulai menyengat kuli dan tak kuhiraukan.
Memasuki kota
Situbondo. Tak lama mobil memelankan lajunya dan berbelok ke arah kanan. Semua
pertanyaan hilang. Hanya Vira yang ku khawatirkan. Avansa masuk gang sempit
selebar mobil. Dan berhenti setelah keluar gang. Di halaman rumah seseorang
yang luas, dengan suasana pedesaan. Aku ikut berhenti, memarkir motor lalu
mendekati Vira dan keluarganya. Itu rumah ahli penyembuhan tradisional, sangkal putung biasa disebut orang.
Vira ditidurkan di
halaman rumah orang tersebut. Dengan bahasa Madura, mereka berkomunikasi yang
aku tak mengetahui apa yang maksudnya. Karena, aku dilahirkan dan dibesarkan di
lingkungan Jawa. Bapak itu mengoleskan minyak dan membetulkan posisi telapak
kakinya yang geser dan punggung tangannya yang patah. Dengan tangisan dan
jeritan kesakitan Neneknya yang memangku kepalanya hanya berkata ,“Istighfar din ¹, istighfar”.
Selesai dipijat, lalu
diberi penyangga bambu yang dililiti kain di tangan dan kaki. Tantenya menyuruhku
membeli air mineral untuk diberi doa-doa. Aku pun bergegas mencari toko. Di
luar gang ada toko yang menjual air mineral dan kulihat ada bensin eceran. Aku
membeli dua botol besar air mineral dan satu botol bensin. Aku segera kembali
dan menyerahkan air mineral itu dan tantenya memberikan kepada bapak itu. Aku
sempatkan berbicara dengan papa dan mamanya sambil terus berada di samping
Vira.
Akhirnya, dengan
membawa oleh-oleh minyak dan botol mineral yang terlah diberi doa kami pun meninggalkan
rumah sangkal putung itu. Kearah
Bondowoso, untuk membawa Vira pulang kerumahnya. Perjalanan sekitar 45 menit.
Sesampainya di rumah, tetangga dan teman-teman sudah menunggu dan menyambut
kedatangannya.
Sejak saat itu tiga
kali dalam seminggu aku menjenguknya dan meninggalkan kuliah pada hari itu. Kadang
lebih dari itu jika dia sedang kangen berat. Menemaninya dari pagi sampai sore,
selama sekitar tiga bulan. Saat kondisi sepi kita memulai berani berciuman,
meraba tubuh hingga making love tiap
kali aku, kesana atas permintaannya. Setidaknya dua kali making love setiap kali aku
menjenguknya. Hingga aku harus siap kontrasepsi tiap kali kesana. Kebiasaan itu
terus kita lakukan sampai dia sembuh. Entah di kontrakanku, menyewa kamar hotel
bahkan di toilet kampus saat sepi untuk menyalurkan hasrat cinta kita.
# # # #
“Maafin aku,
sayang”,kataku sambil memeluknya siang itu. Dengan penuh rasa penyesalan dan
tulus ingin kembali. “Ya, maafin aku juga honey”,
jawabnya sambil memelukku erat. Kita berciuman lalu making love dengan posisi berdiri dan menyandarkannya di dinding
garasi kontrakan yang remang-remang. Kita menikmati dan melakukannya dengan
khusyuk. Tanpa pengaman dengan melakukan klimaks di luar vaginanya. Setelah sebelumnya
sempat menyelesaikan masalah kita. Karena keegoisanku dan keposesifannya kami
sempat putus nyambung. Setelah satu tahun sembilan bulan kita berhubungan.
Malamnya kita makan
bareng sambil melepaskan kerinduan. Vira memelukku erat saat kugonceng. Sesampainya
di tempat makan kami memesan lalapan telor dan lele serta dua gelas es teh. Sambil
menunggu aku meminjam ponselnya dan membuka kotak pesan masuk. Kebiasaanku tiap
kali bersamanya. Kudapati ada sebuah folder yang membuatku penasaran. Kubuka
folder itu, ada beberapa pesan dan kubuka satu per satu. Betapa terkejutnya
aku. Pesan itu berisi ungkapan cinta seseorang dan kata-kata mesra. Betapa panasnya
hati ini. Hampir saja ponselnya kubanting. Aku menahan amarah dalam diriku
sampai menyelesaikan kencan malam itu.
Sesampai di depan kos
Vira, aku mengajaknya bicara dan menanyakan siapa pengirimnya, ada hubungan apa
dia dan pengirim pesan itu. Dia menjelaskan semuanya, disela-sela kita sedang
putus nyambung Vira menerima ajakan untuk menjadi kekasih laki-laki itu.
Laki-laki itu sudah melakukan pendekatan selama tiga bulan. Tepat disaat kita
sering bertengkar dan harus putus nyambung. Dimulai dari perkenalan jejaring
sosial yang berlanjut bertukar nomor ponsel. Selama tiga bulan tanpa sepengetahuanku
Vira telah berpaling. Saai ini mereka telah satu bulan memadu cinta.
Ternyata aku telah
dikudeta oleh Alan, kekasihnya sekarang. Dengan alasan kasihan karena ayahnya sakit
dan ibunya yang telah lama meninggal. Dan dia harus menghidupi dirinya serta ayahnya
semenjak lepas dari semester satu. Vira bermaksud untuk menemani dan menjadi
orang yang bisa membahagiakan Alan. Lalu dia mengatakan bahwa Alan dianggap
seperti kakak bagi Vira. Yang memberikan banyak pengalaman, pandangan tentang
kehidupan dan dapat melindunginya.
Dengan tangisan dan
terisak-isak Vira menjelaskan dan menjawab semuanya. Vira menghubungi Alan dan
menceritakan bahwa dia telah menduakannya. Alan menjawab dengan tenang, menyuruh
Vira jangan mengulanginya lagi. Semuanya kuserahkan kembali pada Vira dengan
semua argumenku untuk mempertahankan hubunganku. Aku menjelaskan dengan sedikit
emosi dan kemarahan. Diantara dua pilihan ternyata dia lebih memilih Alan.
Aku menerima
keputusannya dengan kecewa dan penuh kebencian. Hampir saja aku bunuh diri
malam itu di depan mata Vira. Vira rela menggadaikan semua yang telah kulakukan
untuknya demi laki-laki lain. Bahkan dia rela memberikan keperawanannya begitu
saja padaku. Mengapa Vira harus mendekatiku dan selalu mengajakku rujuk kembali
saat kita putus nyambung. Jika akhirnya dia harus menyakitiku pada akhirnya.
Tapi, setidaknya aku pernah tidur seranjang dengannya dan menunggunya kembali.
- END -
0 komentar:
Posting Komentar