TULIS.. TULIS.. TULIS..
Kartini dikenang karena dia menulis..
Pramoedya dikenang karena dia menulis..
Soe Hok Gie dikenang karena dia menulis..
Jika kau tidak menulis,
Maka kau telah mati sebelum dilahirkan..

-Diekey Lalijiwo-

Kamis, 10 Mei 2012

Setidaknya Saya Pernah Seranjang Dengan Anda

-->
Aku terakhir masuk kamar, lalu kututup pintu dan kukunci sekalian. Vira menaruh barang bawaannya di meja dan melepaskan jilbabnya. Aku lepas jaket dan kugantung digantungan baju yang berada di balik pintu. Kemudian, kutaruh tasku di meja di sudut kamar. Kuambil remote tv di meja tempat Vira menaruh barang bawaannya lalu kunyalakan tv sambil menunggu di melepas asesorisnya.
Tak lama kudatangi dia, kupeluk dia dari belakang dan kuciumi tubuhnya yang beraroma khas. Dengan tanggap diapun berbalik lalu bibir kita menyatu, kita berciuman. Selagi menikmati ciuman itu kita saling melepaskan pakaian sampai tak mengenakan sehelai benang pun. Kugiring lalu kurebahkan di atas rajang yang masih rapi sambil terus menikmati bibirnya yang lembut serta memainkan lidah kita di dalam mulut. Kita sudah terangsang sejak berciuman tadi. Kini kumulai meremas kedua payudaranya, kujilati putingnya yang memerah sampai kita benar-benar tidak tahan lagi. Permainan terjadi tanpa pikir panjang dan tanpa disadari. Kemudian kita klimaks sambil terus berciuman dan berpelukan erat.
Seperti biasa sperma kukeluarkan diluar vaginanya karena tiap pertama kali making love di hotel aku tidak pernah menggunakan pengaman. Itu kebiasaan yang memang sudah kita lakukan dari pertama kita making love di hotel dan menjadi semacam ritual. Kita ingin menikmati sensasi yang diberikan dalam bercinta. Kuberikan ciuman terakhir di keningnya sebelum kita mandi.
Kita bersama-sama ke kamar mandi untuk mandi. Kubiarkan Vira membasahi tubuhnya terlebih dahulu. Sambil menunggu aku mengambil sabun yang diletakkan di wastafel depan kamar mandi dan kuberikan Vira. Giliranku, menyiramkan air ke tubuhku sambil membersihkan sisa sperma yang ada. Vira lalu menyabuniku dari atas sampai bawah. Kami sempat berciuman dan berpelukan saat tubuh masih penuh dengan sabun.
Aku menuju shower untuk menghilangkan shampo dan sabun yang ada di tubuhku. Vira melanjutkan keramas. Aku selesai duluan dan keluar mengambil handuk yang ada di depan kamar mandi. Kukeringkan seluruh tubuhku sambil menunggu Vira selesai mandi. Setelah selesai Vira memanggil,”Sayang ambilin handuk, aku udah selesai”. Langsung kuambilkan handuk dan masuk kamar mandi untuk memberikan handuk dan berniat mengeringkan tubuhnya. Lagi-lagi seperti biasa, Vira tak pernah mau untuk kukeringkan tubuhnya. Dia menyahut handuk ditanganku dan segera menutupi tubuhnya. “Sana keluar, aku kan malu kalau dilihatin lagi telanjang”,ujarnya sambil menjulurkan lidahnya.
# # # #
Trian, itu namaku. Satriandra Meilana Yusuf lengkapnya. Aku kuliah di universitas negeri di ujung timur Jawa Timur. Jember, kota dimana aku menemukan cinta pertamaku. Tempat menimba ilmu dan menjalin rajutan tali cintaku untuk pertama kalinya. Bersama wanita terindah yang penah kutemui, Vira Yudhitara Permata Rani. Wanita bertinggi 160 cm, berkulit kuning langsat, dan memiliki mata yang bulat indah serta jernih. Darah Tionghoa mengalir kental di tubuhnya. Sulitku menggambarkan keindahannya hanya dengan sekedar kata.
Aku sendiri sangat jauh berbeda dengannya. Laki-laki yang tinggi hanya 165 cm, dengan kulit kuning sedikit kecoklatan dan sedikit gendut serta style rambut emo yang kebanyakan disamakan dengan rambut Andhika Kangen Band. Kesamaan kita adalah sama-sama menyukai budaya Jepang dan group band L’Arc~en~Ciel. Band yang cukup legendaris di Jepang dan eksis hingga sekarang.
Semuanya berawal dari “ich liebe dich auch” yang membuatku mulai berani mendekatinya. Kata-kata dengan bahasa Jerman, yang berarti aku juga cinta kamu. Balasan pesan singkat dari Vira saat iseng-iseng aku mengirim pesan singkat dengan bahasa yang sama “ich liebe dich”.
Kita masih menjadi mahasiswa baru. Sejak pertama aku melihatnya ketertarikan itu mulai ada. Waktu itu ospek, mahasiswa baru diwajibkan meminta tanda tangan panitia ospek. Dia dan teman sekelompoknya mau meminta tanda tangan Mas Tam yang tinggal sekontrakan denganku, yang kebetulan sedang keluar kota. Saat itu aku yang menerima kedatangan mereka, karena tidak mendapati Mas Tama berada di kontrakan. Akhirnya mereka putuskan pulang dan Vira meminta nomor ponselku untuk diberi kabar apabila Mas Tama kembali.
Malam harinya dia mengirim pesan untuk menanyakan keberadaan Mas Tama. Dengan kejailanku dan sedikit pengetahuan bahasa Jepang dan Jerman, aku membalasnya dengan bahasa Jepang. Ternyata Vira membalas menggunakan bahasa Jepang. Kedua aku mencoba dengan bahasa Jerman dan dia menggunakan bahasa Jerman juga. Sejak malam itu, aku rutin untuk mengirim pesan singkat ke Vira. Mulai dari bertanya materi kuliah, ospek sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk menelponnya.
# # # #
Kurang lebih 2 bulan lamanya kita komunikasi melalui ponsel. “Kamu sms-an ma anak aneh itu? Gak salah?”, begitu kata salah satu temannya. Mungkin keanehan saat itu, karena sering tidur di kelas saat jam kuliah dan jarang dosen mengetahunya. Semua karena rambut bagian depanku yang panjang hingga menutupi kedua mataku. Tak salah dosen mengira aku masih melek padahal aku sudah di alam mimpi. Sudah pendek, selalu duduk di belakang dan itu sangat menguntungkanku. Hanya teman-teman di sekitarku yang tahu kalau aku tidur. Hingga “sleepy man” gelar yang kudapat dari temanku yang sering mendapatiku tertidur pulas di kelas.

teruntuk bidadari yang diselimuti nafas keindahan
kusematkan rasa rindu padamu dari seluruh ruang hatiku
akan rasa yang kupertahankan sampai kutahu jawabmu
isyarat mata yang menjadi pemantik hilangnya rasa ragu
penenang jiwa
ruang angan yang kosong karena senyummu
saat kepujanggaanku harus kugadaikan menjadi kecintaanku
kata tak harus bermakna
ketika cinta berkuasa atas segala makna

Saat itu tepat tanggal 24 bulan Maret seperti biasa aku menelponnya dari sekitar jam 8 malam itu. Masih kuingat saat itu dia sedang mengerjakan laporan fisika yang beribu-ribu lembar banyaknya. Kutemani dia mengerjakan laporan tersebut. Dia sedang sendirian mengerjakan di kamar kosan “NENSI” alias nenek sihir kata para penghuni kosan menyebut pemilik kosan.
Saat yang kunantikan tiba, entah kenapa jantungku berdetak cepat tak seperti biasanya. Pukul 00.00 WPS (Waktu Ponsel Saya) ,“Otanjobi omodeto gozaimasu Vira Yudhitara Permata Rani”. “Hah? Apa?” katanya. Kuulangi lagi ,“Otanjobi omodeto gozaimasu Vira Yudhitara Permata Rani”. Dia diam. Entah tak mengerti atau memang terharu, tanpa pikir panjang kukatakan sekali lagi dengan sedikti lantang ,“Happy Birthday yang ke 19 Vira Yudhitara Permata Rani”, biar jelas dan tidak membuat dia tambah bingung. Dan akhirnya, aku lega semuanya telah keluar dari mulut. Aku tak tahu yang dipikirkannya saat itu, entah senang, bingung atau jangan-jangan malah takut ,“Terima kasih”. Jawaban setelah apa yang kukatakan.
Selama hampir 5 jam kita mengobrol di telepon, dia kebingungan karena ternyata banyak pesan dan panggilan tak terjawab gara-gara aku. Semua isinya mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Senang malam itu, bisa mengatakan hal yang mungkin dianggap sepele. Malam itu “Kitaro” julukan yang diberikan olehnya dan teman-temannya padaku. Karena menurutnya rambutku mirip dengan tokoh kartun Jepang di film “Ge Ge Ge no Kitaro”. Kitaro adalah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya yang ke-19. Sebulan kemudian kita menjadi sepasang kekasih, tepatnya 11 Mei 2010.
# # # #
Perasaanku tidak enak pagi itu, aku merasa akan terjadi sesuatu pada Vira. Hari itu Vira pulang ke rumahnya di Bondowoso, sekitar 30 menit dari Jember. Pukul 5 pagi dia mengendarai motor yang biasa dia pakai. Sebenarnya aku tidak mengijinkannya karena semalam dia pusing dan. badannya panas Tapi, karena paginya dia bilang sudah baikan aku mengiyakan permintaannya. Entah kenapa hari itu aku melakukan aktivitas yang tidak biasa, sedikit cemas dan bingung.
Pukul 7 aku sudah selesai mandi, padahal perkuliahan dimulai pukul 8.45. Motor sudah kupanasi, pakaian rapi dan buku sudah siap di dalam tas. Aku menunggu kedatangannya untuk makan bareng dan siap berangkat kuliah. Kunyalakan sebatang kretek sambil melihat berita pagi di televisi. Kecemasanku sangat terlihat, aku terus mondar-mandir sambil terus mengawasi jam di dinding.
“Sayang aku kecelakaan”, pesan singkat dari Vira. Tepat pukul 8, pesan itu menjawab kecemasanku pagi itu. Aku langsung menelponnya, menanyakan keberadaan dan bagaimana kondisinya. Vira menjawab dengan nada kesakitan dan terisak,”Kaki ma tangan kiriku gak bisa digerakin. Sakit”. Lalu menutup telepon. Pikirku dia patah tulang. Aku mengirim pesan menanyakan keberadaannya, tak lama dia membalasnya. Kuambil helm dan menuju Puskesmas dimana dia dirawat sementara. Aku bahkan lupa mengenakan jaket.
Kukencangkan laju motorku untuk segera mengetahui kondisinya. Padahal aku tidak tahu dimana letak Puskesmas itu. Aku hanya memikirkan Vira. 15 menit kemudian aku sampai daerah yang disebutkan. Kupelankan laju motorku sambil memperhatikan sepanjang jalan mencari lokasi Puskesmas itu. Tampak di kanan jalan ada mobil Avansa hitam parkir dan aku ingat itu mobil papanya. Aku membalikkan arah laju dan mendekati mobil itu. Kulihat Vira berada di bagian tengah mobil diapit mamanya dan neneknya. Saat aku berhenti mobil  melaju meninggalkan Jember. Aku mengikuti, terlihat sepintas wajah Vira menahan sakit sambil menangis.
Mobil pun melaju dengan kencang dan aku mengikuti di belakangnya. Berharap lukanya tidak terlalu parah. Sekitar 30 menit kemudian memasuki kota Bondowoso, aku tak tahu sama sekali kota itu. Aku terus membuntuti mobilnya. Pikirku sudah dekat dengan rumah sakit Bondowoso dia akan segera mendapatkan perawatan. Tapi, mobil terus melaju keluar kota itu.
Aku bertanya-tanya. Akan dibawa kemanakan Vira? Aku teringat orang tua dari papanya berada di Situbondo. Akankah dibawa kesana? Untuk apa? Haruskah sejauh itu? Pertanyaan terus ada di pikiranku. Diikuti kekhawatiran akan isi bensin motorku. Aku tak sempat mengisinya, terakhir kali dua hari yang lalu. Apabila berhenti untuk mengisi di SPBU aku akan ketinggalan, kalau terus apakah cukup? Pikiranku tak menentu saat kulihat speedometer menunjukkan angka 100 km/jam. Panas mulai menyengat kuli dan tak kuhiraukan.
Memasuki kota Situbondo. Tak lama mobil memelankan lajunya dan berbelok ke arah kanan. Semua pertanyaan hilang. Hanya Vira yang ku khawatirkan. Avansa masuk gang sempit selebar mobil. Dan berhenti setelah keluar gang. Di halaman rumah seseorang yang luas, dengan suasana pedesaan. Aku ikut berhenti, memarkir motor lalu mendekati Vira dan keluarganya. Itu rumah ahli penyembuhan tradisional, sangkal putung biasa disebut orang.
Vira ditidurkan di halaman rumah orang tersebut. Dengan bahasa Madura, mereka berkomunikasi yang aku tak mengetahui apa yang maksudnya. Karena, aku dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan Jawa. Bapak itu mengoleskan minyak dan membetulkan posisi telapak kakinya yang geser dan punggung tangannya yang patah. Dengan tangisan dan jeritan kesakitan Neneknya yang memangku kepalanya hanya berkata ,“Istighfar din ¹, istighfar”.
Selesai dipijat, lalu diberi penyangga bambu yang dililiti kain di tangan dan kaki. Tantenya menyuruhku membeli air mineral untuk diberi doa-doa. Aku pun bergegas mencari toko. Di luar gang ada toko yang menjual air mineral dan kulihat ada bensin eceran. Aku membeli dua botol besar air mineral dan satu botol bensin. Aku segera kembali dan menyerahkan air mineral itu dan tantenya memberikan kepada bapak itu. Aku sempatkan berbicara dengan papa dan mamanya sambil terus berada di samping Vira.
Akhirnya, dengan membawa oleh-oleh minyak dan botol mineral yang terlah diberi doa kami pun meninggalkan rumah sangkal putung itu. Kearah Bondowoso, untuk membawa Vira pulang kerumahnya. Perjalanan sekitar 45 menit. Sesampainya di rumah, tetangga dan teman-teman sudah menunggu dan menyambut kedatangannya.
Sejak saat itu tiga kali dalam seminggu aku menjenguknya dan meninggalkan kuliah pada hari itu. Kadang lebih dari itu jika dia sedang kangen berat. Menemaninya dari pagi sampai sore, selama sekitar tiga bulan. Saat kondisi sepi kita memulai berani berciuman, meraba tubuh hingga making love tiap kali aku, kesana atas permintaannya. Setidaknya dua kali making love  setiap kali aku menjenguknya. Hingga aku harus siap kontrasepsi tiap kali kesana. Kebiasaan itu terus kita lakukan sampai dia sembuh. Entah di kontrakanku, menyewa kamar hotel bahkan di toilet kampus saat sepi untuk menyalurkan hasrat cinta kita.
# # # #
“Maafin aku, sayang”,kataku sambil memeluknya siang itu. Dengan penuh rasa penyesalan dan tulus ingin kembali. “Ya, maafin aku juga honey”, jawabnya sambil memelukku erat. Kita berciuman lalu making love dengan posisi berdiri dan menyandarkannya di dinding garasi kontrakan yang remang-remang. Kita menikmati dan melakukannya dengan khusyuk. Tanpa pengaman dengan melakukan klimaks di luar vaginanya. Setelah sebelumnya sempat menyelesaikan masalah kita. Karena keegoisanku dan keposesifannya kami sempat putus nyambung. Setelah satu tahun sembilan bulan kita berhubungan.
Malamnya kita makan bareng sambil melepaskan kerinduan. Vira memelukku erat saat kugonceng. Sesampainya di tempat makan kami memesan lalapan telor dan lele serta dua gelas es teh. Sambil menunggu aku meminjam ponselnya dan membuka kotak pesan masuk. Kebiasaanku tiap kali bersamanya. Kudapati ada sebuah folder yang membuatku penasaran. Kubuka folder itu, ada beberapa pesan dan kubuka satu per satu. Betapa terkejutnya aku. Pesan itu berisi ungkapan cinta seseorang dan kata-kata mesra. Betapa panasnya hati ini. Hampir saja ponselnya kubanting. Aku menahan amarah dalam diriku sampai menyelesaikan kencan malam itu.
Sesampai di depan kos Vira, aku mengajaknya bicara dan menanyakan siapa pengirimnya, ada hubungan apa dia dan pengirim pesan itu. Dia menjelaskan semuanya, disela-sela kita sedang putus nyambung Vira menerima ajakan untuk menjadi kekasih laki-laki itu. Laki-laki itu sudah melakukan pendekatan selama tiga bulan. Tepat disaat kita sering bertengkar dan harus putus nyambung. Dimulai dari perkenalan jejaring sosial yang berlanjut bertukar nomor ponsel. Selama tiga bulan tanpa sepengetahuanku Vira telah berpaling. Saai ini mereka telah satu bulan memadu cinta.
Ternyata aku telah dikudeta oleh Alan, kekasihnya sekarang. Dengan alasan kasihan karena ayahnya sakit dan ibunya yang telah lama meninggal. Dan dia harus menghidupi dirinya serta ayahnya semenjak lepas dari semester satu. Vira bermaksud untuk menemani dan menjadi orang yang bisa membahagiakan Alan. Lalu dia mengatakan bahwa Alan dianggap seperti kakak bagi Vira. Yang memberikan banyak pengalaman, pandangan tentang kehidupan dan dapat melindunginya.
Dengan tangisan dan terisak-isak Vira menjelaskan dan menjawab semuanya. Vira menghubungi Alan dan menceritakan bahwa dia telah menduakannya. Alan menjawab dengan tenang, menyuruh Vira jangan mengulanginya lagi. Semuanya kuserahkan kembali pada Vira dengan semua argumenku untuk mempertahankan hubunganku. Aku menjelaskan dengan sedikit emosi dan kemarahan. Diantara dua pilihan ternyata dia lebih memilih Alan.
Aku menerima keputusannya dengan kecewa dan penuh kebencian. Hampir saja aku bunuh diri malam itu di depan mata Vira. Vira rela menggadaikan semua yang telah kulakukan untuknya demi laki-laki lain. Bahkan dia rela memberikan keperawanannya begitu saja padaku. Mengapa Vira harus mendekatiku dan selalu mengajakku rujuk kembali saat kita putus nyambung. Jika akhirnya dia harus menyakitiku pada akhirnya. Tapi, setidaknya aku pernah tidur seranjang dengannya dan menunggunya kembali.
- END -

0 komentar:

Posting Komentar