TULIS.. TULIS.. TULIS..
Kartini dikenang karena dia menulis..
Pramoedya dikenang karena dia menulis..
Soe Hok Gie dikenang karena dia menulis..
Jika kau tidak menulis,
Maka kau telah mati sebelum dilahirkan..

-Diekey Lalijiwo-

Kamis, 24 Mei 2012

Cerita Untuk Masa Depan Mengingat Masa Laluku

   Tepat hari ini tanggal 24 Mei 2022, aku memperingati hari kelahiranku dari seorang wanita. Tepatnya usiaku 33 tahun sekarang. Usiaku semakin bertambah dan semakin mendekatkanku dengan kematian. Tapi, aku bersyukur aku masih diberi nafas untuk merasakan kehidupan di dunia yang katanya singkat ini. Aku masih bisa merasakan momen-momen yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidupku. Dimana aku telah menyelesaikan kuliah untuk mendapatkan gelar sarjanaku dan diwisuda untuk kedua kalinya. Aku telah menyelesaikan amanahku sebagai Pimpinan Umum (PU) di LPM MANIFEST dan berhasil mencetak generasi jurnalis kampus yang kritis dengan kondisi sosial dan sekitarnya. Aku diterima kerja di perusahaan media surat kabar lokal di Jember. Telah menikah dan kini baru saja diberikan buah hati yang kedua. Melihat mereka tumbuh besar menjadi dewasa. Sungguh momen-momen yang sangat indah dan tak terlupakan. Tak terasa sang waktu berlari begitu cepat dan menghalusinasiku hingga saat ini dan nanti.
   Aku ingat, tepatnya sepuluh tahun lalu aku masih sering menuliskan catatan dan kuposting di tempat ini, blog pribadiku. Yang akhirnya menjadi kebiasaanku sampai sekarang. Dimana aku biasa memajang hasil karyaku atau sekedar unek-unek yang saat itu kurasakan. Saat dimana aku masih sebagai seorang mahasiswa biasa, dengan prestasi akademik yang cukup. Tidak cukup baik melainkan cukup buruk di mata orang di sekitarku. Tidak baik terutama menurut keluarga maupun teman-teman tapi, menurutku itu cukup baik dan memuaskanku. Karena aku memang kurang pandai dalam hal akademik, terutama ilmu ke-THP-an. Saat itu aku lebih suka mengurusi masalah non-akademik, terutama organisasi. Dengan segala kemelut emosi jiwa perubahan menuju kedewasaan. Kedewasaan fisik maupun pemikiran dalam meyikapi semua masalah yang ada. Aku ingat waktu itu, tiga hari setelah MANIFEST menerbitkan buletin karya anggota magang dan tabloid hasil kerja keras pengurus. Momen dimana aku mulai menginjakkan kakiku di angka berurutanku dan meninggalkan angka kembarku. Media pertama yang ditelurkan kembali oleh LPM MANIFEST setelah beberapa tahun tertidur. Yang merupakan percikan pemicu semangat untuk menghasilkan karya yang lebih dan lebih. Juga membangkitkan MANIFEST sampai saat ini.
   Saat-saat dimana aku mulai mendapatkan pencerahan tentang cita-cita dan keinginanku nantinya. Karena sebelumnya aku bahkan tidak memiliki angan-angan tentang kehidupanku setelah aku terlepas dari bangku kuliah. Dimana aku disadarkan oleh ketua umum organisasi kesenian di kampus saat kita diskusi di suatu malam di Bulek. “Gak nduwe cita-cita? Matio ae wes. Urip kok gak nduwe cita-cita.” Kira-kira seperti itu kalimat yang dia katakan padaku. Teringat pula saat aku terpaksa dan harus menjadi saksi hidup impian dua orang pemikir. Dengan segala imajinasi dan imipian-impian penuh hasrat yang menggebu-gebu. Di tempat yang sama, di warung Bulek sambil menenggak segelas kopi masing-masing. Juga menghisap beberapa linting kretek, yang memang pasangan serasi dari segelas kopi. Dan sejak saat itu aku mulai memikirkan sedikit-demi sedikit tentang masa depanku. Menseriuskan apa yang memang obsesiku dan hasratku. Mengumpulkan kekuatan untuk mencapai ambisiku dan saat dimana aku mulai move on. Memandang hidup lebih bermakna, lebih bersyukur dan lebih tenang. Walaupun jalan tak selalu dan harus lurus. Dimana jalan itu tak selalu mulus dan sesuai dengan keinginan kita.
   Sekitar satu setengah tahun kemudian aku diwisuda, saat dimana aku dikukuhkan menjadi seorang Sarjana Teknik Pertanian atau disebut S.TP. Yang merupakan ekor namaku untuk pertama kalinya di perguruan tinggi ketigaku. Walaupun saat itu bukan wisuda pertamaku melainkan untuk yang kedua kalinya setelah aku menyelesaikan pendidikan diploma selama setahun. Tepatnya di Graha Sepuluh November aku diwisuda untuk yang pertama kalinya. Tapi, aku tidak mendapatkan tambahan ekor nama saat itu. Dengan Indek Prestasi Komulatif (IPK) yang sedang-sedang saja, yaitu 2,5. Memang sengaja aku tidak memperbaiki nilai-nilai yang kurang, karena aku juga memikirkan usiaku saat itu. Usiaku saat itu sudah dua tahun lebih tua dari angkatanku masuk. Meskipun aku masih ingin berlama-lama menikmati bangku kuliah tapi, aku tak boleh terlena dengan semua itu.
   Tak lama setelahnya aku mendapatkan pekerjaan yang memang menjadi keinginan dan sesuai dengan organisasi dulu yang kugeluti. Mungkin pekerjaan itu tak terlalu dianggap sesuatu yang membanggakan. Tapi, bagiku inilah hidupku. Jalan yang harus kujalani, kutempuh sesuai hasratku walaupun menyimpang dari rumpun pendidikan yang kupelajari saat kuliah. Wartawan media surat kabar lokal di Jember, itulah hal yang kuseriusi sekarang. Walaupun sebenarnya ada keinginan bekerja di media lokal dekat kampung halamanku, mungkin di Madiun. Dimana aku bisa lebih dekat dengan tempat tinggal kedua orang tuaku. Tempat yang lebih bisa menenangkanku, dengan udara masa-masa aku dibesarkan. Tapi, dengan pertimbangan lain, akhirnya aku memutuskan untuk bekerja di Jember dengan seijin kedua orang tuaku. Tiap hari harus mencari berita, dari pagi sampai menjelang malam bahkan kadang malam hari. Menulis hasil reportase dengan cepat, rapat redaksi. Kira-kira seperti itulah duniaku sekarang. Dengan gaji yang cukup untuk menyambung hidup dan mempersiapkan untuk kehidupanku selanjutnya. Mungkin tak seperti apa yang kuinginkan dari dulu sebelum aku masuk LPM atau tak sesuai dengan harapan kedua orang tuaku. Aku hanya bisa tetap meyakinkan diriku, ini hidupku dan ini pilhanku. Masalah bagaimana yang terjadi nanti, itu konsekuensi dan kehendak Tuhan. Saat itu aku hanya bisa serius dengan pekerjaanku dan menikmatinya.
   Hampa rasanya apabila hidup tanpa cinta, hanya sendiri tanpa ada seseorang yang bisa saling mencurahkan kasih sayang. Sepertinya ada yang kurang lengkap dan seakan hidup ini datar-datar saja. Setelah kegagalan hubungan cinta yang keduaku, hampir-hampir aku tak memikirkan untuk mencinta dan dicintai lagi. Meskipun sebenarnya aku memendam rasa yang dalam untuk ingin merajut benang-benang asmara kembali dengan seseorang. Tapi, aku merasa tidak pantas dan masih menganggap diriku kurang layak. Ketakutan mengecewakannya selalu membayangi setiap saat. Dengan kodisi percintaan masa lalu yang tidak pernah sempurna. Apalagi dengan pekerjaanku sekarang, yang mungkin dianggap sebelah mata. Sehingga lama aku tak merasakan bagaimana wanginya aroma cinta. Pada akhirnya, aku menemukan tulang rusukku. Seorang wanita yang benar-benar bisa menerimaku apa adanya. Dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Awalnya memang aku tak pernah menyadari dia adalah jodohku. Aku hanya berusaha bersikap biasa dan memang cenderung memfokuskan diri pada pekerjaanku. Lama kelamaan gelagat kita mulai berbeda, mulai timbul perasaan anugerah dari sang Maha. Awal hanya biasa saja, karena terbiasa bertemu dan saling sapa. Sejak saat itu semuanya menjadi luar biasa, bahkan lebih dari itu. Empat tahun setelah aku lulus atau 2,5 tahun setelah aku mendapatkan pekerjaanku. Aku melantangkan janji suci kesakralan cinta untuk selamanya bersamanya. Janji bersama sehidup semati dalam suka maupun duka bersama tulang rusukku. Dimana aku dan dia telah menyempurkan separuh dari agamaku. Beban tanggung jawab bertambah, aku menjadi imam untuknya dan keluarga baru kita.
   Perjalanan yang sangat panjang selama sepuluh tahun. Setelah aku menginjakkan kakiku meninggalkan angka kembarku dan harus menjalani angka berurutan yang keduaku dalam hidupku. Detik ini pun aku memulai memasuki angka kembarku untuk yang ketiga kalinya dalam hidupku. Aku bersyukur atas apa yang telah kuambil, kutempuh dan kupertahankan. “Bertahan walau lelah dan ingin mengakhiri semuanya”, masa-masa yang telah terlewati. Dan kini melewati jutaan detik lagi untuk menuju akhir dari retorika kehidupan fana. Menuju kehidupan abadi yang sempurna setelah dihentikan dari hilangnya nafas kita.

2 komentar:

Diey_na mengatakan...

Rencana masa depan toh???
Selamat dan semangat untuk merealisasikannya!!!
hehe
^^

Unknown mengatakan...

realita realisaasi rencana Tuhan bergerak lebih cepat...
jika kau tahu...
ada penggalan kisah terakhir yang terealisasi di awal...
(hanya) kebetulan atau (memang) kebetulan???
pertanyaanku untuk Tuhan...

Posting Komentar